
Anyaman merupakan salah satu elemen arsitektural yang paling umum dan sudah lama digunakan sejak berabad-abad yang lalu di Indonesia. Biasanya, anyaman terbuat dari bambu dan disebut “gedhek” dalam bahasa Jawa, digunakan sebagai tembok atau partisi rumah tradisional. Kini, anyaman tidak hanya identik dengan rumah tradisional, tetapi juga dapat digunakan pada tipologi-tipologi lain seperti kafe, hotel, bandara, dan lain sebagainya dengan berbagai inovasi material menyesuaikan kesan atau fungsi tertentu yang ingin dicapai pada suatu bangunan. BYO Living, sebuah studio anyaman ternama asal Indonesia, berbagi wawasan mengenai anyaman melalui kelas MateREALity (Materialitas Arsitektur) kepada para mahasiswa bersama dua praktisi: David Hutama (Nenun Ruang) dan Rony Gunawan Sunaryo (rgA studio) pada Jumat, 16 Mei 2025 di Ruang K1 Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Diskusi dipimpin oleh Mutiara Angel Simanjuntak, mahasiswi Program Studi Sarjana Arsitektur angkatan 2023 sebagai moderator.
Kegiatan diawali dengan presentasi dari David Hutama mengenai “Tectonic of Weaving”, menceritakan bagaimana tektonika anyaman serta sifatnya yang tidak lekang oleh waktu karena sejak zaman dahulu hingga sekarang material ini digunakan oleh masyarakat dengan metode yang relatif sama. Anyaman sebagai material elemen bangunan juga memiliki keunikan tersendiri, di mana dalam pembuatannya membutuhkan minimal dua komponen untuk menjadikannya bentuk anyaman. Saat ini, material tradisional ini juga mampu dikembangkan melalui metode komputasi, seperti optimalisasi performa partisi anyaman yang dicapai dengan dilakukannya studi terhadap efektivitas anyaman dalam menghalau sinar matahari. Dalam studi ini, sebuah partisi anyaman juga dapat disimulasikan agar menampilkan pola yang dirasa paling estetis. Dengan demikian, sebuah partisi anyaman tidak hanya bersifat estetis, tetapi juga fungsional dan dapat menampilkan performa terbaiknya sebagai suatu elemen bangunan.
Sesi dilanjutkan dengan paparan dari Rony Gunawan Sunaryo, menjelaskan tentang bagaimana studi yang ia lakukan sebagai akademisi terkait pendidikan arsitektur di Indonesia dan proporsi lulusannya yang menjadi praktisi. Dalam materi ini, ia menggaungkan semangat untuk senantiasa meningkatkan atmosfer berarsitektur dalam dunia pendidikan.
BYO Living yang diwakili oleh Sydnelisa Mumtazah selaku Business Development Coordinator kemudian menambahkan berbagai pengalaman BYO Living yang secara kontinu melakukan inovasi terhadap bentuk dan bahan dasar anyaman. Tidak hanya menggunakan bambu, anyaman juga dapat berasal dari material sintetis yang tahan terhadap perubahan cuaca, hingga bahan-bahan daur ulang seperti limbah conveyor belt bandara. Bentuknya pun beragam dan dapat diterapkan pada berbagai elemen arsitektural seperti railing, fasad, ceiling, hingga elemen-elemen non-arsitektural seperti instalasi seni. Proyek-proyeknya tidak hanya terbatas di Indonesia, tetapi sudah melanglang buana di benua-benua lain. Hal ini membuktikan bahwa suatu anyaman yang umumnya bersifat tradisional dan konvensional dapat juga dikembangkan menjadi karya seni yang kekinian, mengikuti perkembangan zaman, dengan memperhatikan prinsip-prinsip desain berkelanjutan, sesuai dengan poin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan SDG 11 – Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan, SDG 12 – Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab, SDG 13 – Penanganan Perubahan Iklim, serta SDG 9 – Industri, Inovasi, dan Infrastruktur.
Berita dilaporkan oleh Nisrina Amalia Paramanindya.